Belajar menulis CERPEN - Pengalaman di kejar anjing waktu kecil - Sepatu Merah dan Anjing Pak Lurah
Sepatu Merah dan Anjing Pak Lurah
Bab I – Sepatu Itu Hadiah
Aku masih ingat betul aroma sore hari itu—hangat matahari yang hampir tenggelam bercampur bau tanah dari pekarangan basah dan aroma kapur dari papan tulis di madrasah. Tapi yang paling kuingat, adalah suara Ibu yang memanggilku dari dapur.
"Rifqi! Coba sini dulu sebentar!"
Aku keluar dari kamar dengan langkah malas. Waktu itu aku sedang sibuk menggambar robot di buku tulis bekas, dengan pulpen yang tintanya kadang keluar kadang tidak.
Begitu aku sampai di dapur, mataku langsung tertuju ke sesuatu yang mencolok di lantai: sepasang sepatu olahraga warna merah menyala, masih terbungkus plastik tipis dari toko kelontong dekat pasar.
"Ini... buat aku?" tanyaku sambil menunjuk sepatu itu, suaraku naik setengah oktaf karena kegirangan.
"Iya. Buat kamu. Buat ngaji sore juga, biar nggak pakai sandal jepit bolong terus," kata Ibu sambil terkekeh.
Tanpa pikir panjang, aku langsung memakainya. Rasanya seperti jadi pahlawan super. Di mataku, itu bukan sekadar sepatu. Itu adalah lambang kekuatan. Di dunia kecilku, sepatu baru berarti bisa lari lebih kencang, meloncat lebih tinggi, dan—kalau sedikit berkhayal—bisa mengalahkan ninja yang datang menyerang madrasah.
Tapi sayangnya, khayalanku terlalu percaya diri. Karena aku lupa satu hal penting: rumah Pak Lurah dan anjingnya yang legendaris.
Bab II – Jalan Pintas yang Terlalu Berani
Biasanya, aku dan teman-teman selalu melewati jalan depan masjid untuk menuju madrasah. Jalanan itu lebih ramai, tapi aman. Tapi karena hari itu aku merasa “bersepatu super”, aku memutuskan mengambil jalan pintas: sebuah gang kecil yang tembus ke belakang madrasah, melewati kebun pisang, dan—sayangnya—melewati rumah Pak Lurah.
Semua anak tahu, rumah Pak Lurah dihuni oleh seekor anjing besar yang disebut “Si Jabrik”. Tidak ada yang tahu jenisnya, karena warnanya kadang berubah tergantung cahaya. Kadang terlihat hitam legam, kadang cokelat keabu-abuan. Tapi yang pasti, anjing itu galak. Anak-anak yang pernah lewat sana mengaku dikejar, bahkan ada yang sampai panjat pohon pisang sambil nangis.
Namun aku, Rifqi si anak bersepatu merah, tak gentar. Aku bahkan menepis suara hati kecil yang berkata, “Kalau anjingnya keluar, kamu lari ke mana?”
Dengan dada membusung, aku berjalan menyusuri jalan setapak. Pohon pisang di kiri kanan seperti memberi hormat, dan matahari sore memantulkan cahaya ke sepatuku seperti spotlight. Dan tepat ketika aku melewati pagar kayu rumah Pak Lurah…
Grrrr… WUFFFF!!
Aku mematung. Detik itu juga, seluruh khayalanku tentang jadi pahlawan lenyap seperti debu ditiup kipas.
Si Jabrik muncul.
Bab III – Kejaran yang Mengubah Hidup
Mataku langsung menangkap tatapan Si Jabrik. Matanya tajam, telinganya berdiri, dan bulunya seperti sedang berdiri semua. Dia tidak langsung lari. Dia menunduk sedikit, seperti sedang menilai apakah aku layak dikejar atau tidak.
Aku tak menunggu jawaban.
Aku lari.
Bukan lari biasa. Ini adalah lari hidup dan mati, yang kualami untuk pertama kalinya dalam hidupku. Jalanan setapak berubah jadi sirkuit balap. Sepatu merahku bekerja maksimal—berdecit di tikungan, melompat di atas akar pohon, bahkan sempat terpeleset sedikit tapi bangkit lagi. Si Jabrik mengejar dari belakang, suaranya menggelegar, napasnya terdengar seperti mesin disel.
Dan yang paling memalukan?
Aku sambil teriak:
“TOLONGG!! MAAK!! MAAKK!! ADA ANJIIINGG!!”
Tapi tak ada Mak. Tak ada siapa-siapa. Hanya suara jangkrik dan gemerisik daun kering yang seolah berkata, “Nasibmu, boy.”
Tiba-tiba, di ujung gang, ada tanjakan kecil. Aku ingin meloncatinya—dengan gagah, seperti di film kartun. Tapi licin. Lumpur bekas hujan membuatku tergelincir.
BRUUUKK!!
Kepalaku tidak kena batu, tapi harga diriku jatuh keras ke tanah. Yang lebih parah, salah satu sepatu merahku terlempar ke sawah.
Aku tak bisa berkata-kata. Anjing itu berhenti tak jauh dariku, menatapku dari kejauhan. Nafasnya memburu. Tapi ekspresinya… bukan marah. Entah kenapa, dia terlihat puas.
Mungkin dia tidak ingin menggigit. Mungkin dia hanya ingin menunjukkan siapa raja di gang itu. Dan sekarang dia tahu: aku bukan pahlawan. Aku hanya bocah bersepatu merah yang terlalu percaya diri.
Anjing itu pun pergi. Begitu saja. Seolah berkata, “Besok-besok lewat jalan masjid, ya.”
Bab IV – Satu Sepatu dan Satu Pelajaran
Aku pulang dengan satu sepatu dan satu kaki berlumur lumpur. Aku berjalan cepat sambil menahan tangis. Bukan karena sakit atau takut. Tapi karena kehilangan sepatu baruku. Yang satu, masih di sawah. Entah di mana.
Saat Ibu melihatku masuk rumah, dia nyaris menjatuhkan centong nasi. Tapi setelah melihat wajahku yang malu campur sedih, dia justru tertawa.
"Makanya, jangan sombong. Baru dikasih sepatu baru udah sok-sokan ambil jalan pintas."
Aku tidak menjawab. Aku hanya menunduk, lalu berkata lirih, “Satu lagi hilang, Bu... di sawah.”
Malam itu aku tidur dengan kaki satu bersih, satu berlumur lumpur. Tapi pikiranku tidak tidur. Aku tidak lagi merasa jadi pahlawan. Tapi aku merasa jadi manusia.
Bab V – Pencarian dan Akhir yang Tak Terduga
Esok paginya, aku kembali ke sawah bersama teman-temanku. Kami mencari sepatu itu seperti mencari harta karun. Kami menyusuri lumpur, menyingkirkan rumput liar, bahkan ada yang mengira melihat “bayangan sepatu”, tapi ternyata cuma sandal jepit putus.
Akhirnya, kami menyerah. Tapi sebelum pulang, aku menemukan sesuatu: sebuah sendok plastik warna biru, separuh tertancap di lumpur, seperti menandai makam sepatu merahku yang hilang.
Kupungut sendok itu dan kubawa pulang. Entah kenapa, aku tak ingin pulang dengan tangan kosong.
Epilog – Sepatu, Anjing, dan Aku
Kini, bertahun-tahun telah berlalu. Sepatu merah itu sudah tidak ada, rumah Pak Lurah sudah direnovasi jadi ruko, dan Si Jabrik... konon sudah tiada.
Tapi dalam setiap langkahku kini, aku masih bisa merasakan degup jantung saat dikejar anjing. Bukan lagi karena takut, tapi karena aku tahu:
Kadang, sepatu baru dan percaya diri berlebih bisa menyesatkan kita ke jalan yang salah. Tapi dari situlah pelajaran berharga datang—dengan gonggongan, lumpur, dan satu sepatu hilang.
Dan ya, aku masih menyimpan sendok plastik biru itu di laci kamarku. Sebagai pengingat... bahwa jalan pintas tak selalu benar, dan pahlawan pun bisa jatuh di tikungan.
Posting Komentar untuk "Belajar menulis CERPEN - Pengalaman di kejar anjing waktu kecil - Sepatu Merah dan Anjing Pak Lurah"
Apa tanggapan anda tentang artikel diatas?