Lari Terus, Jangan Pernah Menoleh (Belajar menulis CERPEN pengalaman dikejar anjing)
Namun, siapa sangka di ujung jalan itu, ada sesuatu yang akan mengubah seluruh hari dan hampir membuatku kehilangan nyawa.
Di seberang jalan, aku melihat seekor anjing besar berwarna cokelat dengan tubuh kekar, matanya yang tajam seakan menatapku penuh amarah. Aku tahu, anjing itu bukan anjing peliharaan biasa yang ramah. Instingku langsung berteriak agar aku berbalik dan segera pergi dari situ.
Tapi langkahku terasa berat. Aku lupa apakah aku sengaja berjalan mendekat atau hanya terbawa arus pikiranku sendiri. Tiba-tiba, anjing itu menggeram pelan, lalu mulai berlari ke arahku.
Jantungku langsung berdegup kencang. Aku tahu, ini bukan main-main.
Tanpa pikir panjang, aku mulai berlari. Kaki ini menapak tanah dengan cepat, napasku sudah mulai memburu. Aku tidak berani menoleh ke belakang, karena aku takut jika aku lihat, rasa takut itu akan menguasai seluruh tubuhku.
Namun, suara langkah anjing yang mengejarku terdengar semakin dekat, semakin keras, seperti dentuman yang menakutkan.
Aku berlari melewati rumah-rumah warga, berusaha mencari tempat aman. Tapi anjing itu tetap mengikutiku dengan cepat dan gesit, seolah ia punya tujuan pasti.
"Apa yang harus kulakukan?" pikirku panik.
Aku menoleh sekilas, dan melihat anjing itu sudah sangat dekat. Gigi-giginya yang tajam terbuka lebar. Aku tahu jika ia berhasil menangkapku, aku bisa terluka parah.
Di sudut jalan, aku melihat sebuah pagar kayu yang agak rendah. Aku berusaha melompati pagar itu, berharap anjing itu tidak bisa mengikutiku.
Berhasil!
Aku jatuh tersungkur di sisi lain pagar, napasku tersengal-sengal. Tapi aku tidak berani berhenti. Aku terus berlari.
Aku terus berlari, napas sudah seperti tersengal-sengal, tapi aku tahu aku harus tetap kuat. Pagar kayu tadi berhasil jadi penghalang sesaat, tapi anjing itu juga tidak menyerah. Aku bisa dengar suara langkah kakinya yang berat, menghantam tanah, semakin mendekat ke arahku.
Wajahku basah oleh keringat, tapi aku tidak punya waktu untuk berhenti. Kukira aku akan langsung menyerah jika anjing itu berhasil menangkapku.
Saat aku berlari, aku lewat sebuah lapangan kosong yang biasanya digunakan anak-anak untuk bermain sepak bola. Aku punya satu rencana bodoh, tapi entah kenapa aku harus mencobanya.
Aku berhenti sebentar dan membalikkan badan. Mataku bertemu dengan mata anjing itu. Dalam tatapan itu aku bisa lihat kemarahan dan naluri pemburunya.
“Aku harus mencoba,” pikirku. Aku berlari ke arah pepohonan yang ada di pinggir lapangan. Aku tahu, anjing sebesar itu mungkin akan kesulitan menyalipku di tengah-tengah pohon yang lebat.
Aku memanfaatkan celah-celah kecil di antara pohon untuk bergerak zigzag, berharap anjing itu akan kehilangan jejakku.
Namun, anjing itu ternyata jauh lebih cerdas dan lincah daripada yang aku kira. Ia terus mengikuti setiap gerakanku, melompati akar dan ranting-ranting kering dengan mudah. Suaranya yang menggeram semakin keras.
Tiba-tiba, aku terjatuh. Sebuah akar besar yang tersembunyi membuat kakiku tersangkut. Aku jatuh tersungkur ke tanah yang penuh daun kering dan ranting. Nyeri terasa di lutut kiriku, tapi aku tidak punya waktu untuk mengeluh.
Anjing itu sudah sangat dekat.
Aku merasakan hembusan nafasnya yang panas dan bau mulutnya yang tajam saat ia hendak menerkam.
Secara naluriah aku meraih sebuah batu yang cukup besar di dekatku dan melemparkannya ke arah anjing itu.
Batu itu mengenai hidungnya dan membuatnya mundur sejenak, menggeram keras. Ini kesempatan aku untuk bangkit dan berlari lagi.
Aku menapaki tanah dengan lebih hati-hati, mencoba menjaga keseimbangan dan kecepatan. Namun, rasa sakit di lutut semakin menjadi-jadi.
Aku menyadari, aku tidak bisa terus berlari seperti ini.
Pikiranku kacau, aku mencari tempat untuk berlindung. Di kejauhan, aku melihat sebuah warung kecil yang biasanya buka sampai malam. Aku berlari ke sana, berharap ada orang yang bisa menolong.
Sesampainya di depan warung, aku berteriak meminta tolong.
"Tolong! Ada anjing gila yang mengejar saya!"
Pemilik warung, seorang bapak tua, langsung keluar dengan membawa sapu lidi.
Melihat anjing itu sudah sangat dekat, dia berteriak, “Hei! Pergi! Pergi dari sini!”
Anjing itu berhenti, menggeram tapi ragu-ragu. Pemilik warung mulai mengayunkan sapu lidi ke arah anjing itu, membuatnya mundur sedikit.
Aku berterima kasih kepada bapak itu, napasku masih tersengal-sengal.
"Aku tidak tahu bagaimana bisa selamat kalau tidak ada Bapak," kataku.
Bapak itu tersenyum lelah tapi hangat.
“Kamu harus hati-hati di sini. Anjing itu memang sering mengganggu orang yang lewat malam-malam seperti ini.”
Aku duduk di kursi plastik, mencoba menenangkan diri. Lututku masih sakit, tapi aku lega karena setidaknya aku sudah aman untuk sementara waktu.
Oke, aku lanjutkan ceritanya dengan detail dan suasana yang makin mendalam ya. Ini bagian berikutnya:
Lari Terus, Jangan Pernah Menoleh (Lanjutan)
Setelah aku duduk, napasku mulai pelan-pelan kembali normal. Tapi lututku yang terluka membuat aku sulit berdiri. Bapak pemilik warung itu mendekat, dengan wajah penuh perhatian.
“Kamu harus ke dokter untuk periksa lututmu itu,” katanya pelan. “Kalau dibiarkan, bisa makin parah.”
Aku mengangguk, tapi pikiranku masih tertuju pada anjing yang tadi mengejarku. Ada sesuatu yang aneh dengan anjing itu. Bukan hanya soal ukurannya yang besar, tapi matanya… matanya seperti penuh dendam.
“Bapak tahu anjing itu punya siapa?” tanyaku sambil mengusap lutut yang mulai membiru.
Bapak itu menggeleng. “Setahu saya, anjing itu liar. Tapi dia memang sudah sering muncul di sekitar sini beberapa minggu terakhir. Kadang dia mengejar orang yang lewat. Penduduk sini pada takut. Ada yang bilang itu anjing yang dulu dipelihara seseorang, tapi sekarang dilepas begitu saja.”
Aku termenung.
Kalau anjing itu dulu milik seseorang tapi sekarang jadi liar, bisa jadi ada kisah yang lebih dalam di baliknya. Aku penasaran, tapi juga takut untuk tahu.
“Kalau aku boleh tahu, kamu lewat sini sendiri?” tanya bapak itu.
Aku mengangguk pelan. “Iya, saya cuma jalan-jalan sore, menghirup udara segar. Tapi saya nggak tahu ada anjing sebesar itu.”
Bapak itu tersenyum miris. “Ini memang daerah yang cukup sepi. Malam-malam sering gelap. Kalau kamu harus lewat sini lagi, sebaiknya jangan sendirian. Kalau bisa, lewat jalan lain yang lebih ramai.”
Aku berjanji pada diri sendiri untuk lebih hati-hati mulai saat itu.
Malam itu, aku tidak bisa tidur nyenyak. Bayangan anjing besar yang mengejarku terus terngiang di kepala. Aku bahkan merasa seolah-olah aku masih bisa mendengar derap kakinya yang berat di belakangku.
Aku sadar, aku harus menghadapi ketakutanku. Kalau tidak, aku akan terus hidup dalam ketakutan setiap kali melewati gang itu.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk kembali ke tempat itu. Tapi kali ini aku tidak sendiri. Aku mengajak sahabatku, Raka, yang terkenal pemberani dan juga suka binatang.
Kami berdua berjalan menyusuri gang itu dengan hati-hati. Saat kami sampai di lapangan yang dulu aku lewati, aku menunjuk ke arah pepohonan lebat.
“Tadi anjing itu mengejarku sampai sini. Aku berusaha melindungi diri dengan masuk ke pepohonan itu, tapi dia tetap mengikuti.”
Raka mengangguk sambil memeriksa area sekitar. “Kita coba cari jejak anjing itu,” katanya.
Kami berjalan perlahan, mengamati tanah, mencari tanda-tanda kaki anjing atau bulu yang mungkin tertinggal.
Tiba-tiba, Raka berhenti dan menunjuk ke sebuah gundukan tanah yang agak aneh.
“Lihat ini,” katanya. “Ada jejak kaki besar dan bulu cokelat. Sepertinya memang tempat dia sering lewat.”
Kami mengikuti jejak itu sampai ke sebuah rumah tua di ujung jalan, yang terlihat sudah lama tidak terawat. Pagar rumah itu penuh dengan tanaman liar, dan pintunya sedikit terbuka.
Raka dan aku saling bertukar pandang. “Apa kamu yakin mau masuk?” tanyaku ragu-ragu.
“Kalau kita bisa tahu kenapa anjing itu sampai jadi liar, mungkin kita bisa membantu,” jawab Raka.
Dengan napas tertahan, kami melangkah masuk ke halaman rumah itu. Bau yang tidak enak langsung menyergap hidung. Suasana di sana terasa sunyi dan suram.
Di dalam rumah, aku melihat beberapa kaleng makanan anjing yang sudah berdebu, serta beberapa mainan anjing yang lusuh.
Sepertinya dulu memang ada anjing peliharaan di sini.
Tiba-tiba, dari balik pintu kamar yang terbuka sedikit, muncul seekor anak anjing kecil yang tampak kurus dan kotor. Ia menatap kami dengan mata yang penuh rasa takut.
Aku tersenyum kecil. “Hai, kecil. Kamu juga ditinggalkan ya?”
Raka membungkuk dan mencoba mengelus kepala anak anjing itu, yang mulai menggonggong pelan.
Di sudut lain, kami menemukan sebuah buku harian yang sudah usang. Isinya tulisan tangan yang hampir pudar.
Aku membuka halaman-halaman buku itu, dan mulai membaca.
Tulisan itu bercerita tentang pemilik rumah yang dulu memelihara seekor anjing besar bernama Bruno. Bruno adalah anjing yang setia, tapi suatu hari pemiliknya harus pindah dan tidak bisa membawa Bruno.
Mereka memutuskan untuk melepas Bruno agar bisa hidup bebas, tapi sayangnya Bruno malah menjadi liar dan sering membuat masalah di sekitar kampung.
Aku dan Raka saling berpandangan. Kisah itu membuatku merasa iba, tapi juga semakin paham mengapa anjing itu begitu galak.
Kami memutuskan untuk mencari cara agar Bruno bisa ditangkap dan dibawa ke tempat yang aman, supaya tidak menyakiti orang lagi dan juga supaya dia tidak terus hidup dalam kesendirian.
Bruno perlahan mendekati umpan yang sudah kami siapkan. Matanya yang waspada terus mengawasi sekitar, tubuhnya tetap tegang siap lari kapan saja. Aku dan Raka menahan napas, tak berani bergerak sedikit pun dari tempat persembunyian kami.
Tiba-tiba, seekor burung kecil terbang dari atas dan mengeluarkan suara keras. Bruno langsung terkejut dan menoleh ke arah suara itu. Peluang itu kami manfaatkan.
Dengan gerakan cepat, Raka melompat keluar dan melempar jaring ke arah Bruno. Jaring itu mengenai tubuhnya dan perlahan-lahan mengikat anjing besar itu.
Bruno berusaha melawan, menggonggong keras dan menggigit jaring, tapi jaring itu cukup kuat untuk menahan gerakannya. Aku berlari menghampiri, membawa tali yang sudah kusiapkan.
Dengan hati-hati, kami mengikatkan tali itu ke kalung jaring agar Bruno tidak bisa lepas. Matanya masih menunjukkan ketakutan dan kemarahan, tapi kami tahu ini demi keselamatan dia dan orang lain.
Setelah Bruno berhasil dikendalikan, kami membawanya ke rumahku. Aku tahu ini bukan akhir dari cerita, tapi awal dari perjalanan panjang untuk menyembuhkan luka fisik dan hatinya.
Setelah berhasil menjebak Bruno dengan jaring, aku dan Raka segera membawanya ke rumahku yang tidak jauh dari situ. Bruno masih berontak dan menggonggong dengan keras, namun kami tetap tenang, berusaha menenangkan dia.
Aku ingat betapa besar dan kuatnya tubuh Bruno, sehingga aku harus berhati-hati agar dia tidak melukai diri sendiri atau kami.
Sesampainya di rumah, aku menyiapkan ruang khusus untuknya di halaman belakang. Aku membersihkan luka-lukanya yang tampak lecet dan berdarah ringan akibat perjuangan saat tertangkap.
Aku tahu bahwa luka terparah sebenarnya bukan hanya yang terlihat di fisiknya, tapi juga luka di hatinya yang membuatnya galak dan takut pada manusia.
Hari-hari pertama bersama Bruno sangat menegangkan. Dia masih sering menggeram dan mencoba menjauh dari kami. Tapi aku dan Raka tidak menyerah. Kami terus menunjukkan bahwa kami bukan ancaman.
Aku membawa makanan favoritnya setiap pagi dan sore, duduk di dekatnya tanpa memaksa. Perlahan, kehadiran kami menjadi sesuatu yang bisa ia terima.
Ada satu momen yang aku tidak akan pernah lupa. Suatu sore, setelah beberapa minggu perawatan dan kesabaran, Bruno mendekatiku dan menjilati tangan yang selama ini memberinya makan dan perlindungan.
Saat itu, aku merasa seolah-olah kami sudah melewati tembok besar yang memisahkan kami.
Bruno bukan lagi anjing liar yang menakutkan, melainkan sahabat yang setia.
Namun, perjalanan kami tidak selalu mulus. Ada kalanya Bruno kembali menunjukkan sisi galaknya, terutama saat ada orang asing atau suara keras di sekitar rumah. Aku harus belajar membaca bahasa tubuhnya dan selalu siap menghindari situasi yang bisa memicu agresinya.
Selain itu, aku juga mulai menghubungi komunitas pecinta binatang dan dokter hewan untuk membantu merawat Bruno lebih baik.
Dokter hewan mengatakan bahwa trauma yang dialami Bruno bisa sangat memengaruhi perilakunya, dan perlu terapi khusus agar ia bisa benar-benar pulih.
Aku bersyukur karena Raka selalu ada di sampingku, menjadi pendukung dan partner dalam perjalanan ini.
Waktu terus berjalan. Bruno semakin jinak dan mulai menunjukkan sisi cerianya. Ia senang berlari di halaman, menggonggong riang, dan bahkan bermain-main dengan anak-anak tetangga.
Aku merasa bangga dan lega melihat perubahan itu.
Suatu hari, aku menulis surat pendek dan meletakkannya di pintu rumah lama yang dulu aku dan Raka kunjungi. Surat itu untuk pemilik Bruno dulu, siapa pun dia.
Aku berharap suatu saat dia tahu bahwa Bruno tidak hanya selamat, tapi juga menemukan keluarga baru yang menyayangi dan menjaganya.
Cerita ini mengajarkanku banyak hal tentang keberanian, kesabaran, dan cinta tanpa syarat. Menghadapi ketakutan memang tidak mudah, tapi dengan niat dan usaha, kita bisa menaklukkannya.
Dan Bruno, si anjing yang dulu mengejarku hingga aku hampir kehilangan harapan, kini menjadi pelajaran hidup berharga dan sahabat terbaik yang tak terduga.
Pengalaman dikejar anjing liar mengajarkanku banyak hal tentang ketakutan dan keberanian. Ketika rasa takut muncul, yang terpenting adalah tetap tenang dan mencari cara untuk melindungi diri. Namun, lebih dari itu, kisah Bruno mengingatkan bahwa terkadang makhluk yang kita takuti sebenarnya sedang terluka dan butuh bantuan.
Dengan kesabaran, pengertian, dan kasih sayang, kita bisa mengubah ketakutan menjadi persahabatan. Bruno yang awalnya menjadi ancaman, akhirnya berubah menjadi teman setia yang membawa kebahagiaan. Dari pengalaman ini, aku belajar bahwa tidak ada yang tidak bisa diperbaiki selama kita mau berusaha dan memberi kesempatan kedua.
Posting Komentar untuk "Lari Terus, Jangan Pernah Menoleh (Belajar menulis CERPEN pengalaman dikejar anjing)"
Apa tanggapan anda tentang artikel diatas?